Pages

Selasa, 09 April 2013

Sejarah Bondowoso

Sejarah Bondowoso
Oleh: Andre Juprianto, S.Pd (Ketum Komisariat Unibo)


Semasa Pemerintahan Bupati Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang subur.
Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Seketeng”. Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin, Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan (diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang.
Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran, Tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang, Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari, Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger, Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang. kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan, terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.
Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat menjadi demang dengan gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan sebutannya adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang, rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara lain aduan burung puyuh (gemek), sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan sapi guna menghibur para pekerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan secara berkala dan menjadi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa Negeri.
Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan bahwa pada tahun 1809 Raden Bagus Asrah atau Mas Ngabehi Astrotruno dianggkat sebagi patih berdiri sendiri (zelfstanding) dengan nama Abhiseka Mas Ngabehi Kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu (founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di Bondowoso. Adapun tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi Bondowoso, sebagai ubahan perkataan Wana Wasa. Maknanya kemudian dikaitkan dengan perkataan Bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri (kota) adalah semata-mata karena modal kemauan keras mengemban tugas (penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan membangun kota.
Meskipun Belanda telah bercokol di Puger dan secara administrtatif yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kekuasaannya, namun dalam kenyataannya pengangkatan personel praja masih wewenang Ronggo Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengklaim lahirnya kota baru Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai akhir hayat Sri Bupati di Besuki.
Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta dengan predikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon, 25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan eksistensi formal Bondowoso sebagai wilayah kekuasaan mandiri di bawah otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara 1829-1830.
Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekuasaannya diserahkan kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858 dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan di Blindungan sekarang atau jalan S Yudodiharjo (jalan Ki Ronggo) yang dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri, Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebun Dalem Tanggul Kuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19 Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun. jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih. Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai “Makam Ki Ronggo”.

0 komentar:

Posting Komentar