Sejarah Bondowoso
Oleh: Andre Juprianto, S.Pd (Ketum Komisariat Unibo)
Semasa Pemerintahan
Bupati
Ronggo Kiai Suroadikusumo di Besuki mengalami kemajuan dengan
berfungsinya Pelabuhan Besuki yang mampu menarik minat kaum pedagang
luar. Dengan semakin padatnya penduduk perlu dilakukan pengembangan
wilayah dengan membuka hutan yaitu ke arah tenggara. Kiai Patih Alus
mengusulkan agar Mas Astrotruno, putra angkat Bupati Ronggo
Suroadikusumo, menjadi orang yang menerima tugas untuk membuka hutan
tersebut. usul itu diterima oleh Kiai Ronggo-Besuki, dan Mas Astrotruno
juga sanggup memikul tugas tersebut. Kemudian Kiai Ronggo Suroadikusumo
terlebih dahulu menikahkan Mas Astotruno dengan Roro Sadiyah yaitu putri
Bupati Probolinggo Joyolelono. Mertua Mas Astrotruno menghadiahkan
kerbau putih “Melati” yang dongkol (tanduknya melengkung ke bawah) untuk
dijadikan teman perjalanan dan penuntun mencari daerah-daerah yang
subur.
Pengembangan wilayah ini dimulai pada 1789, selain untuk tujuan
politis juga sebagai upaya menyebarkan agama Islam mengingat di sekitas
wilayah yang dituju penduduknya masih menyembah berhala. Mas Astrotruno
dibantu oleh Puspo Driyo, Jatirto, Wirotruno, dan Jati Truno berangkat
melaksanakan tugasnya menuju arah selatan, menerobos wilayah pegunungan
sekitar Arak-arak “Jalan Nyi Melas”. Rombongan menerobos ke timur sampai
ke Dusun Wringin melewati gerbang yang disebut “Lawang Seketeng”.
Nama-nama desa yang dilalui rombongan Mas Astrotruno, yaiitu Wringin,
Kupang, Poler dan Madiro, lalu menuju selatan yaitu desa Kademangan
dengan membangun pondol peristirahatan di sebelah barat daya Kademangan
(diperkirakan di Desa Nangkaan sekarang.
Desa-desa yang lainnya adalah disebelah utara adalah Glingseran,
Tamben dan Ledok Bidara. disebelah Barat terdapat Selokambang,
Selolembu. sebelah timur adalah Tenggarang, Pekalangan, Wonosari,
Jurangjero, Tapen, Praje,kan dan Wonoboyo. Sebelah selatan terdapat
Sentong, Bunder, Biting, Patrang, Baratan, Jember, Rambi, Puger,
Sabrang, Menampu, Kencong, Keting. Jumlah Penduduk pada waktu itu adalah
lima ratus orang, sedangkan setiap desa dihuni, dua, tiga, empat orang.
kemudian dibangunlah kediaman penguasa di sebelah selatan sungai
Blindungan, di sebelah barat Sungai Kijing dan disebelah utara Sungai
Growongan (Nangkaan) yang dikenal sebagai “Kabupaten Lama” Blindungan,
terletak ±400 meter disebelah utara alun-alun.
Pekerjaan membuka jalan berlangsung dari tahun 1789-1794. Untuk
memantapkan wilayah kekuasaan, Mas Astrotruno pada tahun 1808 diangkat
menjadi demang dengan gelar Abhiseka Mas Ngabehi Astrotruno, dan
sebutannya adalah “Demang Blindungan”. Pembangunan kotapun dirancang,
rumah kediaman penguasa menghadap selatan di utara alun-alun. Dimana
alun-alun tersebut semula adalah lapangan untuk memelihara kerbau putih
kesayangan Mas Astrotruno, karena disitu tumbuh rerumputan makanan
ternak. lama kelamaan lapangan itu mendapatkan fungsi baru sebagai
alun-alun kota. Sedangkan di sebelah barat dibangun masjid yang
menghadap ke timur. Mas Astrotruno mengadakan berbagai tontonan, antara
lain aduan burung puyuh (gemek), sabung ayam, kerapan sapi, dan aduan
sapi guna menghibur para pekerja. tontonan aduan sapi diselenggarakan
secara berkala dan menjadi tontonan di Jawa Timur sampai 1998. Atas
jasa-jasanya kemudian Astrotruno diangkat sebagai Nayaka merangkap Jaksa
Negeri.
Dari ikatan Keluarga Besar “Ki Ronggo Bondowoso” didapat keterangan
bahwa pada tahun 1809 Raden Bagus Asrah atau Mas Ngabehi Astrotruno
dianggkat sebagi patih berdiri sendiri (zelfstanding) dengan nama
Abhiseka Mas Ngabehi Kertonegoro. Beliau dipandang sebagai penemu
(founder) sekaligus penguasa pemerintahan pertama (first ruler) di
Bondowoso. Adapun tempat kediaman Ki Kertonegoro yang semula bernama
Blindungan, dengan adanya pembangunan kota diubah namanya menjadi
Bondowoso, sebagai ubahan perkataan Wana Wasa. Maknanya kemudian
dikaitkan dengan perkataan Bondo, yang berarti modal, bekal, dan woso
yang berarti kekuasaan. makna seluruhnya demikian: terjadinya negeri
(kota) adalah semata-mata karena modal kemauan keras mengemban tugas
(penguasa) yang diberikan kepada Astrotruno untuk membabat hutan dan
membangun kota.
Meskipun Belanda telah bercokol di Puger dan secara administrtatif
yuridis formal memasukan Bondowoso kedalam wilayah kekuasaannya, namun
dalam kenyataannya pengangkatan personel praja masih wewenang Ronggo
Besuki, maka tidak seorang pun yang berhak mengklaim lahirnya kota baru
Bondowoso selain Mas Ngabehi Kertonegoro. Hal ini dikuatkan dengan
pemberian izin kepada Beliau untuk terus bekerja membabat hutan sampai
akhir hayat Sri Bupati di Besuki.
Pada tahun 1819 Bupati Adipati Besuki Raden Ario Prawiroadiningrat
meningkatkan statusnya dari Kademangan menjadi wilayah lepas dari Besuki
dengan status Keranggan Bondowoso dan mengangkat Mas Ngabehi Astrotruno
menjadi penguasa wilayah dengan gelar Mas Ngabehi Kertonegoro, serta
dengan predikat Ronngo I. Hal ini berlangsung pada hari Selasa Kliwon,
25 Syawal 1234 H atau 17 agustus 1819. Peristiwa itu kemudian dijadikan
eksistensi formal Bondowoso sebagai wilayah kekuasaan mandiri di bawah
otoritas kekuasaan Kiai Ronggo Bondowoso. Kekuasaan Kiai Ronggo
Bondowoso meliputi wilayah Bondowoso dan Jember, dan berlangsung antara
1829-1830.
Pada 1830 Kiai Ronggo I mengundurkan diri dan kekuasaannya diserahkan
kepada putra keduanya yang bernama Djoko Sridin yang pada waktu itu
menjabat Patih di Probolinggo. Jabatan baru itu dipangku antar 1830-1858
dengan gelar M Ng Kertokusumo dengan predikat Ronggo II, berkedudukan
di Blindungan sekarang atau jalan S Yudodiharjo (jalan Ki Ronggo) yang
dikenal masyarakat sebagi “Kabupaten lama”.Setelah mengundurkan diri,
Ronggo I menekuni bidang dakwah agama Islam dengan bermukim di Kebun
Dalem Tanggul Kuripan (Tanggul, Jember), Ronggo I wafat pada 19
Rabi’ulawal 1271 H atai 11 Desember 1854 dalam usia 110 tahun.
jenazahnya dikebumikan disebuah bukit (Asta Tinggi) di Desa Sekarputih.
Masyarakat Bondowoso menyebutnya sebagai “Makam Ki Ronggo”.